Tradisi Nyalamaq Dilauq di Tanjung Luar Lombok Timur

TANJUNG LUAR LOMBOK TIMUR – Kamis 3 Agustus 20223 pagi sekitar pukula 9.30 Waktu Indonesia Tengah, beramai-ramai ribuan warga Tanjung Luar menjadi saksi Mala Ggaq atau pelepasan kepala kerbau dipimpin oleh Munawir Abas seorang sandro (tokoh adat) dilarung di laut sekitar 200 meter dari pantai. Melarung kepala kerbau tersebut diikuti oleh seorang warga yang mengalami kesurupan.

Prosesi Nyalamaq Dilauq ini berlangsung selama sepekan. ‘’Hari ini puncaknya, Mala Ggaq Tikoloq,’’ ujarnya. Ini adalah tradisi turun temurun warga yang berasal dari suku Bugis di Lombok Timur. Disusul kemudian setelah kepala kerbau dilarung melakukan Sitampoq (Bajo) atau siram-siraman air laut di tengah laut….

Menurut seorang anggota Seksi Kebudayaan Lembaga Adat Desa Tanjung Luarr Muhammad Saifullah, 81 tahun, penempatannya di atas terumbu karang. ‘’Ini adalah tanda syukur untuk hasil laut dari para nelayan selama setahun ini,’’ kata Saifullah, Kamis 3 Agustus 2023 malam.

Dulu, tradisi ini diselenggarakan pada bulan Rajab. Namun dalam perkembangannya pariwisata, kini menyesuaikan situasinya. ‘’Kalau dulu, sewaktu acaranya bulan Rajab, sewaktu melarung kepala kerbau, ikan bermucnulan,’’ ucapnya.

Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Kabupaten Lombok Timur Muhammad Nursandi menjelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Lombok Timur mendukung kegiatan ini. ‘’Sebagai salah satu kegiatan kalender event pariwisata,’’ ucapnya.

Disebutnya, kekayaan yang berlimpah antara lain keanekaragaman bahasa dan suku bangsa, keadaan alam, peninggalan sejarah, seni, adat dan budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata dan destinasi pariwisata. ‘’Seperti acara adat Selamatan Laut di desa Tanjung Luar yang biasa disebut dengan Nyalamaq Dilauq, memiliki daya tarik tersendiri,’’ katanya.

Betapa tidak, dalam prosesi upacara adat ini selalu ada warga yang kesurupan melenggok dengan tarian yang khas dan unik. Begitu pula pada acara puncaknya, ratusan  perahu dan sampan nelayan berhias menghampar di laut mengiringi rakit sandro yang membawa kepala kerbau untuk dilepas ke terumbu karang.

Ahmad Subhan yang pernah menjadi Camat Tanjung Luar, mengutip Muhammad Saifullah menyebut upacara adat Nyalamaq Dilauq ini diselenggarakan sejak beberapa abad yang lalu dan pada Januari 1907 Pemerintah Hindia Belanda meminta para sandro untuk menyelenggarakan secara resmi upacara tersebut  sebagai tanda mulai dibukanya Pelabuhan Tanjung Luar sehingga dahulu disebut ” Nyalamaq Palabuang” (selamatan pelabuhan), Sandronya waktu itu bernama Waq Amek. Boleh jadi upacara ini pernah digelar sebelumnya, namun tidak ada yg mengetahui kapan dan siapa sandronya.

Pada tahun ini merupakan upacara adat yang ke-19 dan sudah masuk even kalender pariwisata daerah, untuk pertama kalinya diselenggarakan bertepatan bulan Muharram.

Prosesi telah dimulai beberapa hari sebelumnya di Sarapo atau rumah adat yang berlokasi di ujung Dusun Toroh Selatan Desa Tanjung Luar Kecamatan Keruak dengan pengunjung dari berbagai penjuru wilayah bahkan dari mancanegara. Tiga hari sebelum acara puncak , diselenggarakan upacara mengarak kerbau keliling kampung ( ngaririq kerbau ) pada sore hari ba’da ashar hingga menjelang magrib dengan menyusuri pantai dan darat melalui jalan desa sambari  memohon do’a keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa. Prosesi upacara ini disaksikan hampir seluruh warga desa dan dari wilayah luar desa.

Suara seruling dan gema musik tradisional suku Bajo serta semerbak bau wangi dupa, menambah sakralnya suasana upacara, sesekali warga kesurupan yang ikut dalam iringan ini nampak  menunjuk dan mengangguk-angguk dengan kalimat komat kamit yang hanya difahami segelintir orang.

Upacara puncaknya  adalah Malaggaq Tikoloq atau melarung kepala kerbau ke laut pada Kamis, 3 Agustus 2023. Lokasi tepatnya di atas sebuah terumbu karang  tidak jauh dari dermaga Tanjung Luar sebagai pusat acara.

Waktu melarung kepala kerbau ke terumbu karang yang penuh kisah misterius inilah tempat ramai dan meriahnya, karena rakit sandro yang membawa kepala kerbau itu diiringi oleh ratusan perahu dan sampan  nelayan yang telah dihiasi beragam aksesoris dan bendera warna warni.

Setelah kepala kerbau dilepas di terumbu karang, mulailah acara Sitampo (saling siram dengan air laut) dilanjutkan saling siram di daratan, tamu dan pengunjung yang hadirpun tidak boleh keberatan bila kena siramam air laut. Konon dahulu para pejabat  Belanda yang menonton juga disiram dan mereka ikut gembira.

Masih menurut penuturan Saifullah, kalau mendalami filosofi dan hakekat Nyalamaq Dilauq dengan cara berdialog bersama para Sandro sejak tahun 1972 , kita akan menemukan hal yang sungguh bijak. Mengapa setelah acara puncak melarung itu nelayan dilarang melaut ? Ternyata laut juga perlu “puasa”. Jadi, isi lautan itu jangan terus dieksploitasi tanpa batas dan belas kasih. laut juga perlu diberikan kesempatan “puasa”. Orang Barat menyebutnya “Close Season”.

Waktunya hanya tiga malam yaitu malam Jum’at, malam Sabtu dan malam Ahad.Malam Senin dapat melaut lagi seperti biasanya.

Kalau Sandro zaman dahulu memang sudah memperhitungkan dengan cerat sehingga setelah upacara usai dan laut kembali “dibuka” ( open season) maka hasil tangkapan ikan laut begitu melimpah.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *