by

Tete Batu Miliki 7 Alasan Terpilih Wakili Indonesia

MATARAM – Keterwakilan Desa Wisata Tete Batu di Kabupaten Lombok Timur sudah dipenuhi persyaratannya, Kamis 26 Agustus 2021. Berkasnya sudah dikirimkan ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai kelengkapan pengajuannya dalam lomba desa wisata terbaik versi United Nation World Tourism Organization atau Badan Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Kabupaten Lombok Timur Muhammad Nuesandi menjelaskan bahwa Tete Batu menjadi desa wisata pertama dari tiga desa wisata yang akan diajukan keikutsertaannya dalam lomba tersebut. ”Tete Batu menjadi desa pertama yang memenuhi kelengkapan lombanya,” kata Sandi, Selasa 31 Agustus 2021 malam.

Kepala Dinas Pariwisata NTB Yusron Hadi sudah membentuk tim pendampingan Tete Batu, Senin 30 Agustuss 2021 lalu. Tim Pendamping Desa Wisata Tete Batu diketuai Halus Mandala dari Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram. ”Tim pendamping akan mengarahkan perhatian pembenahan pada sembilan sektor,” ujarnya.

Sembilan sektor pembenahan ini sesuai dengan indikator penilaian tim assesor. Diantaranya mengidentifikasi sumber daya malam dan budaya, kelestarian lingkungan, keberlanjutan ekonomi warga setempat dan indikator lain yang dijadikan acuan penilaian lomba lainnya.

Keyakinan Nursandi bahwa Tete Batu layak mendapatkan predikat terbaik karena tujuh aspek yang dimilikinya.

Pertama, hutan Tetebatu di selatan Rinjani memiliki kontribusi terhadap perubahan iklim global.

Hutan tropis Tetebatu membantu menstabilkan iklim dunia dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Pembuangan karbon dioksida ke atmosfer diyakini berpengaruh terhadap perubahan iklim melalui pemanasan global. Oleh karena itu, hutan hujan Tetebatu memiliki peran penting dalam mengatasi pemanasan global hari ini. ”Selain itu, hutan selatan Rinjani di Tetebatu merupakan rumah bagi flora dan fauna endemik nasional,” ujarnya.

Kedua, keberadaan desa wisata Tete batu berdampak positif pada tonggak awal perdamaian dunia dalam konteks saling pengertian, dan toleransi di desa-desa pedalaman. Kemunculan ini setidaknya dimulai dengan Desa Tetebatu yang telah menjadi desa wisata sejak tahun 1930 hingga sekarang. Tentu saja, melihat keragaman berbagai suku, agama, budaya, dan latar belakang pengunjung di seluruh dunia berpotensi menjadi ancaman terutama daerah pedesaan. ”Oleh karena itu, dengan representasi Desa Wisata Tetebatu, membuka transformasi inklusivitas universal perdamaian dan kerukunan internasional dalam konteks daerah pedalaman,” ucapnya.

Ketiga, kalau selama ini masyarakat pedesaan di hampir seluruh pulau nusantara mendiskreditkan posisi perempuan yang bekerja di sektor pariwisata. Keberadaan mereka tidak diterima dengan baik oleh masyarakat jika mereka sudah bekerja di sektor pariwisata. Maka biasanya mereka akan menjadi keluarga yang terbuang dan dipojokkan oleh lingkungannya sendiri. Paradigma ini kemudian dilawan dengan keberadaan desa wisata Tetebatu yang mulai memperkenalkan dan mempromosikan nilai-nilai inti pariwisata yang melibatkan tokoh agama, budaya, tokoh masyarakat setempat untuk mengatur kesetaraan individu, hak, dan kesempatan yang sama dalam kesataraan gender. ”Dengan demikian, perempuan berperan sangat penting dalam pembangunan desa Tetebatu,” katanya.

Keempat, keindahan bentang alam, perkebunan, pertanian, peternakan, perbukitan, air terjun, budaya, seni dan tradisi yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi paduan nilai yang sangat tinggi untuk dilestarikan, dijaga dan dirawat dengan langkah awal pelibatan masyarakat. Dalam aspek ini, masyarakat sangat ramah dan terbuka terhadap pengunjung. Layanan inilah yang kemudian menjadi nilai tambah yang membuat pengunjung nyaman dan aman. Alhasil, tak sedikit tamu yang menjadikan tuan rumah sebagai ayah atau ibu angkatnya sendiri di Tetebatu dan sering Kembali berkunjung.

Kelima, tidak jarang kemudian pengunjung mengatakan Tetebatu adalah Ubud kedua yang dulu ada. Perbedaan yang paling dominan adalah keberadaan seni dan kultur masyarakat setempat. Namun dalam konteks subtansi tradisi pedesaan dan alam memiliki karakteristik yang sama. Sejak kedatangan dr. Soedjono di Tetebatu pada tahun 1920, Tetebatu telah menjadi rumah bagi pengunjung dari seluruh dunia di Lombok yang difasilitasi Soedjono. Berawal dari aktivitas pengunjung Tetebatu yang menjadi cikal bakal desa Tetebatu diperhatikan dan memotivasi perkembangan desa wisata lainnya di kawasan timur Indonesia sebagai daerah exsplorasi lanjutan.

Keenam, menariknya, Tetebatu memiliki PAUD Pariwisata (taman kanak-kanak) dimana seluruh rangkaian kegiatan mengenalkan lingkungan, budaya, dan toleransi telah diperkenalkan sejak dini. Kegiatan ini jarang dilakukan oleh kebanyakan desa wisata pedalaman lainnya. Lingkungan ini kemudian membentuk kepribadian anak-anak yang inklusif terhadap kemajuan pariwisata secara universal. Hal ini juga sering sebagai lokus pemahaman lintas budaya (cross culture understanding). Keterlibatan baik pengunjung maupun anak-anak dari keluarga pengunjung internasional seringkali memilih tempat ini untuk menitipkan anak-anaknya untuk belajar aktivitas sehari-hari dan menjadi lingkungan bermain bersama. Tinjauan ini setidaknya Tetebatu yang berada pada desa pedalaman, telah menyematkan destinasi ramah anak dan keluarga sehingga memberikan rasa aman dan nyaman pada pengunjung internasional.

Ketujuh, suasana desa yang damai sangat ideal bagi pengunjung yang ingin beristirahat dan bersantai mencari ketenangan. Sungai yang terbentuk di kaki gunung Rinjani memberikan energi positif bagi pikiran dan motivasi hidup serta melakukan aktivitas selanjutnya. Hal ini didukung pula oleh keseimbangan kearifan lokal. Kesetaraan gender, rantai penggerak ekonomi lokal, sosial budaya, dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Potensi inilah yang kemudian dibentuk menjadi wisata berbasis masyarakat Tetebatu untuk merasakan pengalaman hidup di pedesaan bersama penduduk lokal Tetebatu dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.(*)