MATARAM – Jum’at 20 Nopember 2020 malam, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu Dengan Media (Ngetrend Media) di Hotel Lombok Astoria.
Berlangsung selama dua jam setelah makan malam bersama, Ngetrend Media dilakukan oleh anggota DKPP Alfitra Salamm, anggota Tim Pemeriksa Daerah Syarifuddin dan Pemimpin Redaksi Lombok Pos Jony Marthadinata.
Menurut Alfitra Salamm, tantangan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa pandemi ini adalah masyarakat lebih memikirkan pekerjaan dan urusan keluarga. ”Selama pandemi ini, tidak mendukung pilkada yang demokratis,” katanya.
Sebab, masyarakat terganggu pertambahan penderita covid-19, situasi hiruk pikuknya ambulan yang membawa pasien. Apalagi adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020 yang melarang adanya kerumunan. ”Tiadanya arak-arakan atau demokasi komunal,” ujarnya.
Alfitra Salamm menyebutkan antara Covid-19 dengan demokrasi sangat paradoks. Pilkada selama masa pandemi ini disebutnya sebagai demokrasi terlarang karena pembatasan untuk kumpul-kumpul, lebih banyak menggunakan daring karena kumpul-kumpul dibatasi hingga 50 orang saja karena pemerintah menginginkan pilkada sehat. ”Komunikasi calon kepala daerah terbatas,” ucapnya.
Selain itu, ia menilai peserta pilkada kurang kreatif mendaya gunakan daring. Hampirm sebagian besar disebutnya belum menggunakan digital. Padahal media sosial sebetulnya sangat efektif. ”Mungkin masyarakat hanya tertarik main Tik Tok,” kata Alfitra Salamm.
Pilkada kali ini juga disebutnya sebagai pilkada minimalis karena menggunakan paket hemat berbiaya namun yang lebih diuntungkan adalah petahana. ”Pilkada 2020 ini hanya stempel untuk petahana,” ujarnya.
Mengenai money politic, dari hasil survey mendapati 60 persen pemilih suka uang. Karena itu serangan fajar atau kini bisa disebut serangan senja memberikan peran cukup besar. (*)