MATARAM – Selama bulan Juni 2023, nilai impor Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terbesar berasal dari Cina. Nilai impor pada Juni 2023 sebesar US$ 38,25 Juta. Ini berarti impor mengalami kenaikan sebesar 31,91 persen dibandingkan dengan impor Mei 2023 sebesar US $ 28,99 juta. Impor bulan Juni 2023 terbesar berasal dari Cina (67,58 persen), Jepang (15,84 persen), Amerika Serikat (7,73 persen) dan lainnya (8,85 persen).
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik NTB Wahyudin, kelompok komoditas impor dengan nilai terbesar adalah keperluan operasional tambang PT Amman Mineral Nusantara berupa mesin-mesin/pesawat mekanik (63,42 persen), karet dan barang dari karet (15,89 persen), mesin/peralatan listik (9,86 persen), serta bahan peledak (3,46 persen).
‘’Sebaliknya, nilai ekspor NTB pada bulan Juni 2023 sebesar US $ 2,72 juta, mengalami penurunan sebesar 30,50 persen dibandingkan bulan Mei 2023,’’ katanya. Jika dibandingkan Bulan Juni 2022 mengalami penurunan 99,16 persen.
Wahyudin menyebutkan nilai ekspor Juni 2023 yang terbesar ditujukan ke Amerika Serikat sebesar 35,78 persen, disusul India sebesar 17,81 persen kemudian Jepang yaitu sebesar 15,63 persen. ‘’Kelompok komoditas ekspor Provinsi NTB yang terbesar pada Juni 2023 adalah ikan dan udang sebesar US $ 891.954 (32,82 persen), ‘’ kata Wahyudin.
Disusul di urutan kedua adalah perhiasan/permata sebesar US $ 710.265 (26,13 persen), Kopi, Teh, Rempah-rempah sebesar US $ 455.033 (16,74 persen), garam, belerang, kapur sebesar US $ 403.314 (14,84 persen), serta Lak, Getah dan Damar sebesar US $ 169.479 (6,24 persen).
Mengenai profil kemiskinan Provinsi NTB pada bulan Maret 2023, persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 13,85 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap September 2022 dan meningkat sebesar 0,17 persen terhadap Maret 2022.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 751,23 ribu orang, bertambah 6,54 ribu orang terhadap September 2022 dan bertambah 19,29 ribu orang terhadap Maret 2022.
Persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2022 sebesar 13,98 persen, turun menjadi 13,76 persen pada Maret 2023. Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada September 2022 sebesar 13,66 persen, naik menjadi 13,95 persen pada Maret 2023.
Dibanding September 2022, jumlah penduduk miskin Maret 2023 perkotaan turun sebanyak 0,5 ribu orang (dari 384,03 ribu orang pada September 2022 menjadi 383,53 ribu orang pada Maret 2023). Sementara itu, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin perdesaan naik sebanyak 7,04 ribu orang (dari 360,66 ribu orang pada September 2022 menjadi 367,70 ribu orang pada Maret 2023).
Garis Kemiskinan pada Maret 2023 tercatat sebesar Rp498.996,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp374.441,- (75,04 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp124.555,- (24,96 persen).
Pada Maret 2023, secara rata-rata rumah tangga miskin di NTB memiliki 4,10 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.045.884,-/ rumah tangga miskin/bulan.
BPS NTB juga merilis tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Provinsi NTB bulan Maret 2023. Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di NTB yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,375. Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,374 dan meningkat 0,002 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,373.
Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,402, naik dibanding Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,392 dan turun dibanding Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,406. Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2023 tercatat sebesar 0,334, turun dibanding Gini Ratio September 2022 yang sebesar 0,341 dan naik dibanding Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,325.
Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, distribusi pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 18,34 persen. Hal ini berarti pengeluaran penduduk pada Maret 2023 berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.
Jika dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 17,21 persen yang berarti tergolong pada kategori ketimpangan rendah. Sementara untuk daerah perdesaan, angkanya tercatat sebesar 19,91 persen, yang berarti tergolong dalam kategori ketimpangan rendah.(*)