MATARAM – Global Tiger Day, atau Hari Harimau Sedunia, diperingati setiap 29 Juli oleh masyarakat dunia untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi harimau. Tema peringatan tahun 2025 adalah “Harmonious Coexistence between Humans and Tigers” atau “Hidup Berdampingan Secara Harmonis antara Manusia dan Harimau”. Tema ini menekankan pentingnya hubungan saling menghormati antara manusia dan harimau. Manusia perlu berbagi ruang hidup yang cukup sehingga harimau tidak merasa terancam dengan adanya aktivitas manusia.
Melalui rilis, Harimau Sumatra saat ini berstatus Kritis (Critically Endangered) menurut Daftar Merah IUCN yang berarti sangat terancam punah. ‘’Jika tidak ada intervensi konservasi yang efektif,” kata Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dolly Priatna.
Pemerintah Indonesia telah melindungi harimau sumatra secara hukum melalui Peraturan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, dan berbagai inisiatif telah dilaksanakan untuk mendorong koeksistensi antara masyarakat dengan harimau, seperti pembentukan Tim Respon Cepat konflik satwa liar, patroli perlindungan habitat, dan pendekatan berbasis kearifan lokal.
Harimau Ssumatra (Panthera tigris sumatrae) adalah satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia, setelah harimau bali dan harimau jawa dinyatakan punah. “Masa depan harimau sumatra sangat bergantung pada luas dan kualitas habitatnya yang terus menyusut. Untuk meminimalkan risiko kepunahan, diperlukan pendekatan konservasi yang bisa diterima masyarakat, termasuk melalui penguatan kearifan lokal yang telah hidup dan berkembang di masyarakat adat. Cerita-cerita dan keyakinan lokal ini berperan penting dalam membentuk perilaku pelestarian hutan dan satwa,” lanjut Dolly, yang juga akademisi di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan.
Ketua Forum HarimauKita, Iding Achmad Haidir menjelaskan tema Global Tiger Day 2025 di Indonesia adalah Harimau Sumatra, Harimau Indonesia, HarimauKita: Aksi Nyata Pelestarian Harimau Bersama Masyarakat, Pemerintah, dan Pelaku Usaha. Tema ini menyerukan tak sekedar isu bio-ekologi harimau, upaya konservasi harimau juga wajib menargetkan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Selain kebijakan yang pro lingkungan, partisipasi pelaku usaha juga penting dikuatkan. Dalam rangka mendukung Forum HarimauKita yang merayakan Global Tiger Day 2025 dengan berbagai kegiatan di beberapa daerah secara simultan, Belantara Foundation berpartisipasi aktif memberikan penyadartahuan dan edukasi terkait kearifan lokal tentang harimau sumatra, salah satunya melalui penyebaran siaran pers kepada jurnalis dan media massa.
Kearifan lokal atau cerita masyarakat dan harimau sumatra merupakan hal tidak bisa dipisahkan. Mari simak penjelasannya:
• Aceh: Di Aceh, masyarakat menyebut harimau sumatra dengan sapaan “Rimueng”. Hal ini tercantum dalam sebuah karya buku berjudul Atjeh yang ditulis oleh Henri Carel Zentgraaff, seorang penulis asal Belanda. Zentgraaff menjelaskan bahwa harimau hitam dan harimau putih sebagai penjaga makam tokoh-tokoh yang diyakini keramat, yang terletak di Teuku Cot Bada, Kabupaten Pidie, Kota Sigli, Aceh. Dari cerita yang beredar, Rimueng biasanya datang ke makam setiap waktu menjelang Magrib.
• Sumatera Utara: Masyarakat Sumatera Utara menyebut harimau dengan sapaan ‘Ompung’, dalam Bahasa Batak berarti kakek. Dahulu terdapat sebuah cerita legenda ‘Babiat Sitelpang’, yang mengisahkan harimau pincang yang menjaga seorang ibu dan seorang anak yang dibuang ke tengah hutan. Legenda ini secara tidak langsung mempengaruhi perilaku masyarakat di sana yang “meminta izin” saat memasuki hutan atau ladang kepada Babiat Sitelpang sebagai penguasa hutan. Selain itu, masyarakat Batak Mandailing juga percaya bahwa jika ada harimau memasuki pemukiman, artinya terdapat masyarakat melanggar hal yang dilarang.
Kholis Siregar, Pemerhati Lingkungan dari Sipirok, Sumatera Utara mengatakan di kampungnya, hutan bukan sekadar tempat berburu, tapi rumah dari ‘Ompung’—harimau yang dihormati seperti kakek sendiri. Kalau ada harimau terlihat dekat kampung, itu tandanya kami harus mawas diri, mungkin ada aturan adat yang dilanggar.
• Sumatera Barat: Di Sumatera Barat, masyarakat memanggil harimau dengan sebutan ‘Datuak’ atau ‘Inyiak’ yang dipercayai sebagai roh leluhur mereka. Bahkan Datuak menjadi inspirasi aliran ilmu bela diri di sana, yaitu silek harimau atau silat harimau. Bela diri tersebut menggunakan senjata yang disebut kerambit, yaitu sejenis pisau kecil yang merepresentasikan cakar harimau. Terdapat mitos yang mengatakan pesilat yang menguasai silek harimau, dapat berubah wujud menjadi harimau.
• Riau: Di Riau, bagi masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan, menyebut harimau dengan sapaan ‘Datuk’ atau ‘Inyiak’, yang berarti dituakan dan dihormati. Mereka meyakini harimau sebagai penjaga hutan yang akan memberikan perlindungan bagi mereka yang menghormati dan menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat Riau memiliki ritual untuk menghormati harimau. Mereka meminta izin terlebih dahulu sebelum memasuki hutan atau membuka lahan, dan menghindari perilaku yang dapat mengganggu keberadaan harimau di habitatnya. Salah satu cerita rakyat tentang harimau di Riau adalah Harimau Tengkes, yaitu seekor harimau jadi-jadian yang dipelihara oleh Sultan Mahmud pada masa kerajaan Gasib. Harimau ini dipercaya memiliki kekuatan gaib dan menjadi pelindung kerajaan.
• Jambi: Masyarakat Jambi, tepatnya di kaki Gunung Kerinci mempercayai harimau sebagai jelmaan dari sahabat dan prajurit roh para leluhur. Masyarakat Kerinci menyebut harimau dengan julukan Imaw Srabat atau Imaw Ulubalang, yaitu sosok penjaga hutan dan menghalau berbagai satwa liar yang akan masuk ke pemukiman serta sosok pelindung bagi manusia dari segala bentuk perilaku jahat. Oleh karena itu, masyarakat dituntut harus menghormati harimau sumatra. Bahkan terdapat aturan, bagi masyarakat yang masuk ke dalam hutan, tidak boleh menyebut kata-kata ‘harimau’. Jika melihatnya, masyarakat hanya boleh menyapanya dengan sebutan ‘dio’, ‘diyau’, dan ‘hantuo’. Sapaan tersebut berarti menghormati sosok dituakan karena harimau dipercaya lebih dahulu menempati hutan-hutan Kerinci.
Jika menjumpai harimau masuk ke pemukiman, maka terdapat indikasi adanya masyarakat yang melanggar suatu larangan atau hukum adat. Jika masyarakat menemukan harimau mati, maka mereka akan membuat ritual adat dengan tarian Ngagah Harimau yang bertujuan untuk menghibur roh harimau. Ritual tersebut juga bermakna agar manusia dan harimau bisa hidup berdampingan secara harmonis di alam. Dalam ritual Ngagah Harimau, syair dibacakan untuk tiga harimau yang disebut Mangku Gunung Rayo, Rintek Ujan Paneh, dan Ulu Balang Tagea. Ketiga harimau ini diyakini memiliki perjanjian dengan nenek moyang masyarakat Kerinci untuk menjaga keharmonisan kehidupan mereka.
Bapak H. Candra Purnama, S.H., M.H. Gelar Rajo Depati, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Nenek Empat Desa Betung Kuning Hiang Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi mengatakan bahwa kalau kami sebut harimau dengan kata sembarangan di hutan, itu sama saja tidak sopan. Sebelum kami masuk hutan, kami harus berdoa, menjaga perkataan dan perilaku. Kami percaya harimau punya perjanjian dengan leluhur kami untuk menjaga hutan. Kalau dia muncul ke kampung, biasanya kami lakukan ritual agar hubungan tetap damai.
• Sumatera Selatan: Masyarakat Sumatera Selatan memanggil harimau sumatra dengan sapaan “Puyang”, yang artinya nenek moyang atau leluhur yang dihormati serta dianggap sebagai pelindung masyarakat dan alam sekitar. Mereka meyakini bahwa harimau berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Cerita harimau dari Sumatera Selatan ini menekankan bahwa merusak hutan sama dengan melukai atau mengganggu keberadaan “Puyang” , yang pada akhirnya akan membawa dampak buruk bagi masyarakat.
• Bengkulu: Bagi masyarakat Bengkulu, jika harimau memangsa hewan ternak milik warga, mereka menganggap sebagai peringatan atas perilaku mereka kurang baik. Motinggo Busye pernah mengisahkan tentang Tujuh Manusia Harimau di dalam novel yang ia tulis. Ia menulis kisah tersebut berdasarkan cerita rakyat tentang tujuh manusia yang memiliki kemampuan berubah wujud menjadi harimau dan hidup di Bukit Sarang Macan, Desa Ladang Palembang, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Selain itu, William Marsden telah membahas legenda ini dalam buku yang ia tulis berjudul The History of Sumatra pada tahun 1984. Cerita ini menunjukkan penghormatan masyarakat terhadap harimau yang ada di daerahnya.
• Lampung: Di Provinsi Lampung, khususnya di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, masyarakat adat mempraktikkan tradisi “ngarak harimau” — ritual permintaan izin kepada harimau sebelum memasuki hutan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap harimau sebagai penjaga alam. Pendekatan spiritual ini turut mendorong perlindungan habitat alami dan meminimalkan gangguan terhadap satwa dilindungi.
Kisah-kisah dan kepercayaan lokal di atas menunjukkan bahwa harimau sumatra bukan sekadar satwa liar, tetapi juga simbol spiritual, leluhur, dan pelindung. Kearifan lokal tersebut dapat menjadi landasan kuat untuk memperkuat pendekatan konservasi berbasis budaya. “Masa depan harimau sumatra tidak hanya bergantung pada penegakan hukum dan pengelolaan habitat, tetapi juga pada pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai lokal yang telah lama hidup berdampingan dengan harimau,” pungkas Dolly. Mari kita jaga hutan, lestarikan budaya, dan hidup harmonis bersama harimau.
Tentang Belantara Foundation
Belantara Foundation adalah organisasi nirlaba independen berbasis di Indonesia yang didirikan pada tahun 2014. Belantara memainkan peran penting dalam konservasi lingkungan, restorasi hutan, konservasi satwa liar, dan pengembangan masyarakat berkelanjutan di seluruh Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan. Misi Belantara adalah untuk mendukung pengelolaan lanskap berkelanjutan, mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi jangka panjang, meningkatkan penghidupan masyarakat lokal, dan melindungi lingkungan. Pada bulan November 2024, Belantara menjadi Anggota International Union for Conservation of Nature (IUCN). Informasi lebih lengkap mengenai Belantara Foundation dapat dilihat di www.belantara.or.id.