Dihentikan, Izin Kayu Ke Luar NTB

MATARAM – Mengatasi semakin rusaknya kawasan hutana di Lombok dan Sumbawa, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melarang hasil hutan berupa kayu keluar daerah. Penetapan larangan tersebut diberlakukan mulai hari ini, setelah rapat terbatas Forum Komunikasi Pimpinan Daerah NTB dilakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Penodopo Gubernur NTB, Sabtu 24 Oktober 2020 malam.

Penghentian kayu asal Lombok dan Sumbawa ke luar daerah tersebut disampaikan oleh Gubernur NTB Zulkieflimansyah dalam rapat tersebut. Penghentian tersebut dilakukan melalui penghentian penerbitan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU). ”Diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan NTB akibat perambahan,” katanya.

Menurutnya, banyak daerah yang sudah kehilangan mata air karena hutan habis dibabat. Kasus penganiayaan dan perusakan fasilitas pemerintah juga makin serius.

SKAU adalah dokumen angkutan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan Hasil Hutan Hak (kayu bulat dan kayu olahan rakyat). Selama ini SKAU diterbitkan oleh kepala desa/lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.

Pejabat penerbit SKAU ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Dalam hal Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut berhalangan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menetapkan Pejabat penerbit SKAU.

Selain SKAU resmi, keterlibatan oknum juga ditengarai menerbitkan dokumen palsu. Oleh karena itu, pengawasan dan penjagaan pelabuhan oleh Tim Gugus Tugas Kehutanan dan aparat TNI/ Polri diperketat selama moratorium SKAU diberlakukan.

Hal itu sebagai salah satu upaya penyelamatan hutan yang kian mencemaskan akibat klaim hutan adat, illegal logging dan perladangan maupun kebakaran hutan. Apalagi sejak kasus pembalakan liar trennya kian meningkat ditambah tindak pidana aksi anarkisme dan vandalisme petugas dan fasilitas kehutanan.

Solusi lain dalam penanganan kerusakan hutan adalah penegasan peta wilayah yang boleh ditanami jagung oleh Dinas LHK, memperkuat Tim Gugus Tugas Kehutanan dan penebangan liar melibatkan masyarakat, tokoh agama, aktifis lingkungan dan organisasi untuk mendapatkan masukan yang sistemik dan komprehensif dalam identifikasi masalah hutan dan penanganan dari hulu ke hilir.

Rencananya, SK Gubernur No 522 – 205 Tahun 2018 tentang Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan akan dipimpin dan koordinasi langsung oleh Gubernur untuk mengatasi rentang kendali kewenangan yang jauh di kabupaten/ kota.

Disebutkan Kepala Dinas LHK NTB Madani Mukarom kondisi hutan di NTB adalah 8.000 hektar (ha) hutan yang rusak dari 1.074 ha hutan NTB. Sebanyak 4.000 ha hutan dibakar atau terbakar. Begitu pula dengan tren tindak pidana kehutanan, progressnya meningkat dari 2016 ke 2020. ”Tahun ini ada 37 kasus kehutanan dengan perusakan fasilitas dan penganiayaan aparat oleh oknum terduga pelaku,” ucap Madani Mukarom.

Kepala Bidang Perlindungan Hutan Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Murshal kepada Tempo menjelaskan bahwa kerusakan hutan juga terjadi karena meningkatnya masyarakat menanam jagung. ”Ini akibat kanibalisme. Hutan rusak karena lahannya ditanami jagung,” kata Murshal, Ahad 25 Oktober 2020.

Dinas LHK NTB sudah menangkap 160 orang yang melakukan pembalakan liar pohon Sonokeling di Bukit Meson kawasan Rinjani. Empat orang diantaranya sebagai dalang perusak hutan tersebut ditahan dan dijadikan tersangka. ”Hutan yang masih perawan itu merupakan daerah sumber air untuk semua wilayah di Lombok,” ujarnya.

Ironisnya lagi, hasil perusakan hutan ini mehurut Murshal digunakan oleh pelaku untuk berfoya-foya, menikahi hingga beristri empat orang,  kawin cerai selain bermain perempuan penghibur. ”Hasil penjarahan hutan itu untuk bersenang-senang di cafe, klub malam, dan bahkan untuk narkoba,” ucapnya.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *