Di Hotel Holiday Resort Malimbu Lombok Pemuka Lintas Agama Bahas Kesehataan Jiwa

MALIMBU – Selama dua hari, 2 – 3 Juni 2022, sejumlah tokoh antar agama berkumpul di Hotel Holiday Resort Malimbu Lombok bahas isu kesehatan jiwa. Diselenggarakan oleh Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) bekrja sama dengan Black Dog Institute dan Emotional Health For All .

Mereka adalah KH Miftahul Huda (Majelis Ulama Indonesia), Pdt Jackelyn Manuputty dan Pdt Ary Mardi Wibowo dari Jakarta Praise Church Community (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Rm. Y. Aristanto HS, MSF (Komisi Waligereja Indonesia), KH Sarmidi Husna (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), I Nyoman Suarthanu.(Parisada Hindu Darma Indonesia), .I Wayan Sianto (Perwakilan Umat Budha Indonesia atau Walubi) dan Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A (International Center for Religions and Peace).

Menurut penyelenggara, dalam jumpa pers yang diadakan Jum’at 3 Juni sore, sudah bukan waktunya problem kesehatan jiwa dipandang sebagai aib yang terus disembunyikan, tetapi menjadi masalah kemanusiaan yang perlu segera ditangani karena situasinya darurat.

Sarasehan ini untuk memperlihatkan keberpihakan mereka pada kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri serta pentingnya mencari dan menyediakan dukungan yang tepat bagi orang dengan masalah kesehatan jiwa. ‘’Kesepakatan bersama akan dideklarasikan,’’ kata Direktur Pembangunan Kesehatan Masyarakat dan Kemanusiaan YAKKUM Arshinta sewaktu memoderatori jumpa pers tersebut.

Sarasehan ini bertujuan untuk mempertemukan para pemimpin dan tokoh agama untuk merefleksikan sikap dan pandangan mereka terhadap masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri. Selain itu menyadari peran kunci pemimpin agama dalam mencari solusi komprehensif bagi masalah kesehatan jiwa, pertemuan ini juga dimaksudkan untuk menyusun rangkaian rekomendasi dan seruan pada berbagai pihak yang termaktub dalam Deklarasi Nasional Tokoh dan Pemimpin Agama untuk Kesehatan Jiwa dengan memanfaatkan momentum presidensi Indonesia untuk G20 tahun 2022.

Sebagai salah satu negara dengan populasi masyarakat yang berbasis iman  dan plural terbesar di dunia, seruan para pemimpin dan tokoh agama di Indonesia untuk mendukung kesehatan jiwa dan upaya-upaya pencegahan bunuh diri . ‘’Ini diharapkan menjadi inspirasi dan gerakan yang lebih luas di seluruh dunia, ‘’ujar Arshinta.

Ketua Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Bagian Kesehatan I Nyoman Suarthanu. menyebutkan sekarang waktunya, ketika agama diberikan bagian penting dalam Kesehatan Jiwa. ‘’Tokoh agama harus mempelopori pengurangan stigma terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa,”ucapnya.

Demikian pula Ps Ary Mardi Wibowo dari Jakarta Praise Church Community mengingatkan saat ajaran agama mampu mendorong keterbukaan dan berani mengakui kerentanan maka itulah awal pemulihan. Karena selama ini, Agama sering kali hanya dikaitkan dengan ritual, dengan Ibadah. Sedangkan agama seharusnya mengakomodasi semua hal, untuk memanusiakan manusia. ‘’Reinterpretasi agama, perubahan struktural (seperti kebijakan dan layanan) dan penguatan budaya lokal adalah bagian dari rekomendasi kami,” ucap Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religions for Peace.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt Jacklevyn Manuputty, menekankan bahwa lembaga-lembaga keagamaan lah yang justeru harus menjadi sasaran pertama dari rekomendasi dan deklarasi ini sebagai bentuk tanggung jawabnya.

Sebelumnya, peneliti dari Black Dog Institute Dr Sandersan Onie, memaparkan dampak masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri.  Indonesia mengalami kerugian kurang lebih Rp 582 triliun (setara dengan 4 persen GDP), setiap tahunnya karena masalah kesehatan jiwa yang tidak tertangani dengan baik. ‘’Dampak lain yaitu penggunaan obat-obat terlarang atau narkotika dan tumbuh kembang anak-anak yang memiliki masalah di sekolah karena dibesarkan oleh ibu dengan masalah depresi kronis tanpa penanganan yang memadai,’’ katanya.

Mengutip Kementerian Kesehatan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian tertinggi kedua bagi individu di usia remaja akhir. Lebih lanjut, WHO mencatat bahwa angka yang dilaporkan di Indonesia jauh lebih rendah daripada jumlah yang sebenarnya. Lebih dari itu, percobaan bunuh diri yang dilakukan dapat 25-30 kali lebih banyak dari kasus bunuh diri yang terjadi. Selain itu, untuk setiap kematian karena bunuh diri, terdapat paling tidak 135 orang yang terkena dampaknya dalam bentuk trauma mendalam bagi orang terdekat, kehilangan asuhan atau pencari nafkah, kesedihan berkepanjangan, dan berpotensi menjadi ide bunuh diri  berikutnya.

Ini adalah sebuah fenomena yang disebut sebagai penularan bunuh diri, di mana individu yang pernah mendengar kasus bunuh diri di sekitarnya memiliki kemungkinan lebih besar melakukan tindakan bunuh diri juga. Jika terjadi pada usia remaja, masalah kesehatan jiwa dapat berlanjut hingga dewasa, dan berpengaruh pada kualitas hidup mereka serta mempengaruhi kualitas hidup generasi keturunan berikutnya.

Banyaknya jumlah orang yang mengalami depresi dan angka kasus bunuh diri yang semakin meningkat selama pandemi ini tentu merupakan kondisi yang memprihatinkan. Ini menunjukkan betapa luasnya masalah ini.  Namun, yang jauh lebih memprihatinkan adalah jika masyarakat tidak merespon dengan mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan kasih sayang dan keberpihakan pada mereka yang berhadapan dengan depresi dan pemikiran bunuh diri. Karena berbagai stigma keagamaan di Indonesia yang terkait dengan bunuh diri, banyak individu yang tidak sadar ketika mengalami depresi, tidak terbuka untuk berbicara tentang masalah yang dialami atau segan untuk mencari bantuan.

Ketua Walubi Provinsi Nusa Tenggara Barat I Wayan Sianto, mengatakana masalah kesehatan jiwa bukanlah hal yang memalukan, lingkungan dan keluarga berperan untuk mendampingi orang dengan masalah kesehatan jiwa, karena keluarga adalah benteng.

“Di Komisi Keluarga Komisi Waligereja Indonesia, kami memiliki panduan bagi keluarga untuk mendampingi disabilitas,’’ ucap Komisi Waligereja Indonesia Rm. Y. Aristanto. . Ada perubahan paradigma dimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dianggap dosa, saat ini Gereja Katolik telah mengubah perspektif tersebut dengan belas kasih dan penderitaan yang menyelamatkan. Bagaimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dibantu untuk memiliki pengharapan”  (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *